SABAKOTA.ID - Setiap menjelang Ramadan, tepatnya pada bulan Sya’ban, masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta, selalu melakukan tradisi nyadran.
Budaya yang telah dijaga selama ratusan tahun ini, dilakukan dengan bersih-bersih makam para orang tua atau leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, serta berdoa atau selamatan bersama di sekitar area makam.
Dalam kalender Jawa, bulan Ramadandisebut dengan bulan Ruwah, sehingga nyadran juga dikenal sebagai acara Ruwahan. Dirangkum dari berbagai sumber, tradisi ini adalah hasil akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Kata Nyadran berasal dari kata 'Sraddha' yang bermakna keyakinan.
Baca Juga: Pemerintah Kota Magelang Terapkan Kawasan Tanpa Rokok
Nyadran menjadi bagian penting bagi masyarakat Jawa. Sebab, para pewaris tradisi ini menjadikan nyadran sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.
Nyadran umumnya dilakukan pada hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Untuk masyarakat Jawa biasanya menyebutnya sebagai Ruwahan.
Dalam kegiatan nyadran biasanya dilakukan pembersihan makam, pembacaan ayat suci Al-Quran, zikir, tahlil kemudian diakhiri dengan kegiatan makan bersama. Makanan yang disajikan dalam nyadran juga merupakan hasil bumi seperti nasi tumpeng, ayam ingkung, pisang, dan banyak lagi.
Baca Juga: Pemprov Jateng Siap Sambut Pemudik Lebaran 2023
Banyak yang percaya bahwa tradisi nyadran yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ini juga bertujuan untuk mengingatkan manusia akan adanya kematian.
Masing-masing daerah di tanah Jawa punya ciri khas masing-masing dalam tradisi ini. Masyarakat di beberapa daerah membersihkan makam sambil membawa bungkusan berisi makanan hasil bumi yang disebut sadranan.
Secara tradisi, sadranan akan ditinggalkan di area pemakaman. Tak jarang, masyarakat juga meninggalkan uang untuk biaya pengelolaan makam.**